Tuesday, December 18, 2012

Shalatnya Air Mataku

Seorang diriku yang hina bertanya kepada sahabat, yang merupakan tauladan bagi jiwa-jiwa malang ini: Wahai Kawanku, kaki ini terasa berat untuk melangkah menuju tikar persujudan dan menelungkupkan kepala di atasnya seraya memuji sebuah Asma yang tiada tara besarnya. Sedang kau senantiasa melangkahkannya sebagai mengalirkan air menuju sungai yang tenang, bermuara kepada sebuah telaga yang mahaluas. Bagaimanakah gerangan, hai Kawan, agar ku dapat mengikuti jejakmu sebagai suri kepada-Nya?

Seketika bersamaan itu rasa hina dan tawaduk yang terlalu besar, tak dapat ditahan, datang pada diriku. Aku tak dapat bersikap apapun kecuali merasa hina dan tawaduk seperti itu. Tiada celah menuju rasa takabur, apalagi bahwa aku tak dapat melawan arus hukum-Nya yang begitu kencang bagai debur ombak di pantai. Kalau kulawan ia, pasti tenggelamlah aku dalam dasar laut, yang berupa sebongkah Jahanam.

Kemudian sahabatku tiada melontarkan kata dari mulutnya yang penuh rahmah itu, melainkan menuntunku dengan segenap mampunya menuju sebuah bahagian penghulu sungai daripada sebongkah gunung yang begitu tinggi, indah nan terjal. Sesampai di sana sihir katanya membawaku pada rasa damai selaksa Kautsar. Ia berucap dengan patahan kata-kata yang, jika diadu ke medan perang, tak dapat terlawankan, bahkan senantiasa menang: Wahai sahabat karibku, tiadakah kau tahu, bahwa sesungguhnya namaku bukan Muhammad, Adam, Musa, atau lainnya? Tiada pula kau mengetahui bahwa gelar Utusan Allah tidakpula disematkan ke belakang namaku yang hina ini? Tiada kau tahu bahwa sesungguhnya aku bukanlah suri, melainkan hanya seonggok sampah yang tiada berguna bagi manusia di sekelilingku. Oh, alangkah rendahnya aku!

Namun harus kubalas pula pertanyaanmu itu, meski aku sebutir debu; jika tiada kubalas dengan sealir air susu yang manis, sebagai buah takwa, maka kemudian nasibmu dapat saja sepertiku: hina dan tiada guna. Apalah daya, bahwa kau merasakan ada sebuah batu yang berat yang menghambatmu mengalir menuju aliran sungai sayang-Nya. Sesungguhnya kalbu ini merasa iba dengan nasibmu yang tiada sekalipun meraih rahmah Allah. Pernah kubaca sebuah kitab hadis dari Baginda Muhammad yang suci dan agung tulusnya. Ia berkata bahwa pahala orang yang melakukan ibadah sepertimu tiada lain hanya seperbahagiannya.

Boleh jadi itu karena rasa dan pikiranmu yang terus membebani setiap langkahmu. Tiada dapat kaulepaskan semuanya? Jika kau bisa, kau dapat menjadikannya keluar dari hati dan menawakkalkannya hanya kepada Tuhan. Dia mendengarkan segala keluh dan akan menjawabnya pada suatu hari yang di mana balasan dari segala usaha dan amal akan kaudapat. Sekarang, tugasmu di dunia ini, selain daripada senantiasa mencari untung setiap hari setiap malam, adalah menghadap-Nya dengan penuh taat dan tunduk.

Sekarang, wahai sahabat, kau sedang ada di sebuah puncak gunung yang tinggi, mahakarya besar Allah. Di bawahnya ada jutaan lebih banyak mahakarya-Nya yang agung lagi menciptakan pesona. Hamparan dataran hijau, sungai, telaga, laut yang biru lagi indah. Tiada kau merasa takjub atasnya? Demikian pula saat kau menghadap-Nya, bersikap eloklah. Wahai sahabat, jika kau hendak bersembahyang, bersihkan seluruh tubuhmu dengan air wudu' yang suci lagi sejuk. Dari mata air yang langsung diciptakan oleh Allah. Mata air yang mampu menghapus segala noda dan noktah. Mata air yang menciptakan keindahan bagimu, bagi badanmu, bagi hatimu.

Ku telah mengambil sebutir air yang bersih dari ulu sungai ini. Ke sinilah agar aku dapat memercikkannya, sebagai gemericik gerimis yang menyegarkan tumbuhan, ke tanganmu. Tentulah dengannya, kau merasa sangat segar dan kembali baru. Benarkah itu, sahabatku? Jika benar, kau tentu telah berikhtiar dalam menghargai seluruh karya-Nya, seperti air yang suci ini. Sekarang, wahai sahabatku yang setia, berwudu'lah. Ambillah beberapa butir agar dapat diteteskan ke seluruh badanmu. Pujilah nama-Nya setiap saat dan rasakanlah nikmat terbaiknya.

Sekarang, lihatlah, betapa bersih dan suci seluruh badan. Kau terlihat molek dan anggun, bukankah itu? Yang mesti kau lakukan, sembahyanglah, hadapkan dirimu ke rumah Allah di Kakbah. Lafazkan nama terindah, terbesar, dan teragung di semesta ini, yakni Allah Maha Besar. Sanjunglah Dia selaku pencipta sehampar semesta yang kau lihat sekarang. Lukisan-Nya sangat agung tiada tertandingi. Biarkan sembahyangmu yang indah itu mengalir pada sungai-sungai kemenangan, melewati telaga aneka cermin yang megah, bermuara menuju lautan kasih suci-Nya. Jika kau telah sampai di laut, menyeberanglah sejauh-jauhnya menuju Dia. Selangkahmu menyeberang berarti kau akan semakin dekat dengan-Nya. Di sana kau akan bertemu dengan banyak ombak yang menderu dan taufan yang bergemuruh dengan pijaran halilintar yang sangat menyengat. Bertahanlah, wahai sahabat, dan janganlah mengeluarkan setitik air mata ataupun amarah pertanda keputusasaan. Jika kau hilang asa, berhati-hatilah, kau akan terjatuh menuju lautan murka dan masuk kepada dasar Jahannam yang panas.

Keluarkanlah air mata tanda cinta dan takut. Mulai seberangilah menuju jauh sana, tiada dapat terhindarkan lagi. Kau pasti dapat melakukannya! Bertahanlah dan semangatlah, sahabatku! Debur gelombang tiada membuatmu tenggelam asalkan kau tetap senantiasa melontarkan suara-suara puji tasbih kepada Tuhan Yang Agung.

Air mataku mengembara jauhnya, tiada terperi dan terhitung, bermil-mil ia melintas, hingga dengan kekhusyukannya, ia dapat menuju Tempat Yang Dijanjikan. Tentu dengan bekal berupa ucapan puji sanjung tasbih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sampai kini, air mata itu tak pernah kembali, dan telah dijaga oleh-Nya untuk menjadi saksi atas taubat nasuhaku atas segala salah dan khilaf yang telah kuperbuat selama ribuan tahun hayatku. Ia menutupnya.

- Mas Daffa M.P. -